CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SEKSI

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SEKSI

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SEKSI, Hasrat-Bispak33 Seluruh orang didalamnya harus berusaha serta berkorban supaya tak terdepak, dan tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang tidak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi berarti gak cuman itu. Denok pun bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda ialah orang penari, dan masih ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak miliki banyak hutang karena sebab hilang ingatan judi, serta beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang bersusah-hati lantaran Bapak telah tidak ada, dan juga kebingungan lantaran beberapa waktu seusai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil alih agen judi yang memberikan hutang pada Bapak. Kami tidak mempunyai daerah tujuan, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, moga-moga dari sana mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak penting ijazah, rival begitu banyak. Pada akhirnya sesudah cukuplah lama mengamati pelbagai peluang yang ada, Simbok menetapkan untuk manfaatkan ketrampilan kami. Hanya modal baju dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang bersiap ujian akhir SMA atau menempuh tahun awal kuliah, dan yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan anyar, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sebatas cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan sekian lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengen kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak ringan pula cari uang secara seperti berikut, paling-paling yang kami temukan cukup buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Serta gak di seluruh tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang siap bayar, kadang kami malahan ditendang atau dihardik. Sesudah lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, berasal dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami di situ selalu disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Walau sering helai-lembar itu dikasih ke kami kurang santun misalkan dengan diumpetkan ke kemeja kami. Apa saya serta Simbok betul-betul memikat? Tidak tahu ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula sejak dulu selalu membimbing serta mengingati saya untuk menjaga badan meski secara simpel, jadi kendati sawo masak, kulit saya terus mulus dan tak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul pula sich kalaupun di katakan saya montok. Tidak tahu mengapa, biarpun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap juga tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya terus khawatir dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya  cepat dikarenakan dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang menganggapnya demikian. Bertanya-tanyanya, meski atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu benar-benar elok. Hingga usia begitu juga beliau masih tetap elok. cerpensex.com Apa lagi jika sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri terus berasa buruk lho jika tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum menonton kami menari kok segalanya katakan saya elok. Saya berpikir, ini sich pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertamanya didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, hingga sampai berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberikan gincu warna merah oke. Saya saat itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membuat puas yang menonton."


Lama-kelamaan saya biasa pula memanfaatkan dandanan semacam itu, jadi saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari tercipta penganten, bentar bila nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, serta selendang. 


Namun benar-benar yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, bencana hadir kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya was-was, beberapa orang di seputar beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok gak terbantu. Simbok wafat di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya semenjak ketabrak  Simbok telah tak ada asa, tetapi entahlah mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Sampai gak sampai hati saya memandangnya. Kala itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tidak ingin tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit serta penyemayaman, malahan perlu berutang kemanapun. Saya tidak sanggup melaksanakan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewa saja lantaran terlampau berduka. Barangkali setiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok, pula kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, lantaran uang udah habis serta saya pun harus lawan banyak tukang tagih hutang yang tak ingin tahu kepelikan saya . Maka, 1 minggu setelah Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya supaya tidak nampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya jadi bertemu dengan ibu yang miliki sewaan. Sang ibu gak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak miliki uang, jadi saya sekedar dapat omong maaf, dan sang ibu malahan ngancam secara lembut. Tidak apapun tidak bayar, ujarnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya kendala untuk saya. Saya pengin upaya dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SEKSI

Naasnya, hari itu pasar rada sepi, serta selepas dua jam saya baru bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala dipenuhi dengan pemikiran, bagaimana triknya biar kelak jika pulang sudah punyai cukup uang buat bayar sewa. Belum beberapa hutang yang lain. Saat siang, saya lagi jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan tengah mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu cuman tahu beliau jadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya memberinya kami uang namun beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan ada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan memandang saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Namun saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis buat cost penyemayaman Simbok… saat ini saya harus bayar sewaan dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol tetapi tak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Sekedar seramnya saya tidak dapat dapat uang ini hari buat membayar sewa. Jika berjualan, saya tidak mempunyai apapun, harus jual apa?"


Namun lalu tatapan Juragan kok berganti jadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa ngomong kamu gak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa artinya itu.


"Bila kamu ingin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya penting uang, namun apa perlu dengan langkah sebagai berikut? Namun kalaupun tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya gak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, barangkali udah terlihat muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus melihati lantai, tak berani mengangkut kepala, tetapi adakalanya saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang perlihatkan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sekitar itu. Namun saya terus ragu-ragu. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tidak mau ya udah," ujarnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang hasrat ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar sesudah bicara itu. sumpah, baru ini kali ada lelaki buka-bukaan ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu barusan disimpan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ucapnya. Duh, gak yakin rasanya. Awalnya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh uang sejumlah itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, dan kainnya melaju demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena mungkin barusan saya malu dan pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta mengungkap kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" ucapnya.


Juragan pula menggenggam paha saya yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, dan saya semakin deg-degan. Ia lagi remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya telah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa harusnya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun tidak tahu mengapa, saya pula kok merasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan terus menerus lihat sekujur badan saya, sekalian memberi pujian.


"Marilah donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama